Belajar Seru, Semangat Kembali Menggebu
KulWapp Tapis Blogger |
Well, akhirnya menulis lagi. Setelah sekian lama. Dan seperti kembali dejavu, karena dulu pernah juga berujar seperti ini. Tapi ya tak apa, semua tetap membutuhkan waktu untuk kembali belajar. Lagi dan lagi. Tanpa kata menyerah dan putus asa.
Tak punya waktu selalu menjadi alasan klasik. Atau takut fokus nanti terbagi karena memang ada aktivitas lain yang tampaknya lebih utama. Tapi lagi-lagi, seharusnya menulis justru menjadi cara tersendiri untuk melemaskan otot-otot pikiran yang terlalu lama berkutat pada hal yang sama. Atau semacam kanvas yang mampu menuangkan warna-warna yang ada di dalam kepala, yang sudah terlalu penuh dengan segala isi rupa dunia. Pelan namun pasti, seperti ada kesimpulan yang sama. Menulislah, sesibuk apapun kamu di sana. Menulislah tanpa perlu diminta.
Kesempatan ini kembali datang saat Tapis Blogger kembali mengadakan KulWapp alias kuliah melalui media WhatsApp. Media sosial yang sekarang menjadi andalan untuk belajar di masa pandemi seperti ini. Sudah tiga kali kulwapp saya ikuti, dan terakhir ini adalah kembali belajar tentang blog (dan entah apa kabar blog saya yang mungkin sudah penuh sarang laba-laba).
Tapi tak mengapa, panggilan jiwa untuk kembali menuang kata kadang tak perlu aba-aba. Saat ia datang, ya sambut saja. Seperti kemarin, selepas belajar seru dengan mbak Naqi (Naqiyyah Syam, salah satu founder Tapis Blogger Lampung) di kulwapp yang diselanggarakan selama dua jam, semangat untuk kembali mengetukkan jemari tangan di keyboard kembali menggebu. Nulis apa? Ya, bisa apa saja. Dan yang paling dekat, tentu menuang kembali inti sari materi yang sudah disampaikan, sembari mengerjakan tugas untuk menuliskan pengalaman yang didapat selama sesi materi diikuti.
Hmm, rasanya seperti kembali menghirup udara segar lalu mengalir melalui tenggorokan dan memenuhi rongga dada. Ada kerinduan yang terjawab setelah aksara-aksara di papan keyboard sedikit demi sedikit merangkai kata menjadi kalimat. Tak peduli bagus atau tidak, ya menulis sajalah. Menyerap setiap energi yang datang dan mengonversinya menjadi kata-kata yang bertautan.
Dan tak terasa, 300 kata yang menjadi standar minimal untuk belajar menulis harian terampui. Meski jauh dari kata sempurna, tapi kembali belajar tentang arti mencoba. Dan senyum kembali menyapa, memanggil untuk tak lupa bahwa saya pernah memiliki sebuah mimpi dan cita-cita, yang masih menggantung nun jauh di sana.
Shiga, 20 Mei 2020
Tak punya waktu selalu menjadi alasan klasik. Atau takut fokus nanti terbagi karena memang ada aktivitas lain yang tampaknya lebih utama. Tapi lagi-lagi, seharusnya menulis justru menjadi cara tersendiri untuk melemaskan otot-otot pikiran yang terlalu lama berkutat pada hal yang sama. Atau semacam kanvas yang mampu menuangkan warna-warna yang ada di dalam kepala, yang sudah terlalu penuh dengan segala isi rupa dunia. Pelan namun pasti, seperti ada kesimpulan yang sama. Menulislah, sesibuk apapun kamu di sana. Menulislah tanpa perlu diminta.
Kesempatan ini kembali datang saat Tapis Blogger kembali mengadakan KulWapp alias kuliah melalui media WhatsApp. Media sosial yang sekarang menjadi andalan untuk belajar di masa pandemi seperti ini. Sudah tiga kali kulwapp saya ikuti, dan terakhir ini adalah kembali belajar tentang blog (dan entah apa kabar blog saya yang mungkin sudah penuh sarang laba-laba).
Tapi tak mengapa, panggilan jiwa untuk kembali menuang kata kadang tak perlu aba-aba. Saat ia datang, ya sambut saja. Seperti kemarin, selepas belajar seru dengan mbak Naqi (Naqiyyah Syam, salah satu founder Tapis Blogger Lampung) di kulwapp yang diselanggarakan selama dua jam, semangat untuk kembali mengetukkan jemari tangan di keyboard kembali menggebu. Nulis apa? Ya, bisa apa saja. Dan yang paling dekat, tentu menuang kembali inti sari materi yang sudah disampaikan, sembari mengerjakan tugas untuk menuliskan pengalaman yang didapat selama sesi materi diikuti.
Hmm, rasanya seperti kembali menghirup udara segar lalu mengalir melalui tenggorokan dan memenuhi rongga dada. Ada kerinduan yang terjawab setelah aksara-aksara di papan keyboard sedikit demi sedikit merangkai kata menjadi kalimat. Tak peduli bagus atau tidak, ya menulis sajalah. Menyerap setiap energi yang datang dan mengonversinya menjadi kata-kata yang bertautan.
Dan tak terasa, 300 kata yang menjadi standar minimal untuk belajar menulis harian terampui. Meski jauh dari kata sempurna, tapi kembali belajar tentang arti mencoba. Dan senyum kembali menyapa, memanggil untuk tak lupa bahwa saya pernah memiliki sebuah mimpi dan cita-cita, yang masih menggantung nun jauh di sana.
Shiga, 20 Mei 2020
Comments
Post a Comment