Publik gempar. Masyarakat luas geram, gerah, marah dan meradang. Ragam komentar keras muncul dari tokoh-tokoh agama, hukum, lintas partai, ormas juga tokoh politik atas 'aksi' Ahok kali ini.
Bersama tim penasehat hukumnya, Ahok mempertontonkan sikap tak beretika kepada ketua MUI, KH. Ma'ruf Amin. Sosok ulama yang sangat dihormati dan disegani oleh umat Islam, yang juga menempati posisi tersendiri di hati para nahdiyin. Peristiwa yang terjadi pada sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok.
Sikap yang cenderung menyudutkan, merendahkan, tak beretika, membuat pertanyaan berulang di luar substansi, menudingkan kebohongan, hingga ancaman proses hukum kepada KH Ma'ruf Amin tersebut membuat emosi umat Islam kembali terpantik. Bagai jerami kering yang ditaburi bara api.
Dari salah satu portal berita online nasional yang ada dapat diketahui bahwa pada awalnya Ahok tidak merasa bersalah dengan hal tersebut, juga tidak tergerak untuk meminta maaf atas perlakuan yang dinilai kasar oleh berbagai pihak.
Akan tetapi, tidak berselang lama, saat gelombang kemarahan masyarakat memuncak, munculah berita permintaan maaf Ahok, lengkap dengan surat pernyataan yang ditanda tanganinya. Juga beredar video dengan maksud yang sama.
Seperti kita ketahui, Ahok adalah salah satu kontestan Pilkada DKI. Suara umat Islam yang mayoritas di DKI tentu menjadi lumbung yang harus dijaga. Tidak boleh hangus terbakar apalagi sampai musnah. Suara yang akan menentukan siapa jawara pada 15 Februari 2017 nanti.
Apakah motif ini yang melatarbelakangi permintaan maaf Ahok, apakah memang sebuah kesadaran diri, atau motif ada yang lain, tentunya publik yang menilai. Tapi jika ditilik dari rekam jejaknya, maka sebenarnya sikap inkonsistensi Ahok ini bukan hal yang asing lagi.
Berderet catatan yang teringat (ditambah googling untuk memastikan) tentang sikap inkonsistensi ini paling tidak adalah sebagai berikut:
(1) Terbiasa pindah-pindah partai. Sejak dari asal daerahnya, hingga melenggang ke Senayan. Lalu mendapat limpahan sebagai Gubernur DKI, hingga terkesan 'mengkhianati' Partai Gerindra serta Prabowo yang membesarkan namanya di DKI Jakarta.
(2) Berkoar-koar akan maju sebagai calon INDEPENDEN, dengan menggandeng TEMAN AHOK. Jumawa dengan SATU JUTA KTP-nya dan sangat yakin tidak akan membutuhkan Parpol manapun. Hingga akhirnya, kembali memeluk mesra Parpol menjadi kendaraan politiknya menuju DKI 1.
(3) Menjadi sosok yang begitu hebat dalam kisruh "Ahok vs DPRD". Hingga begitu berani mengirimkan APBD yang bukan hasil akhir pembahasan dengan DPRD ke Kemendagri, yang kemudian dikembalikan oleh Bapak Menteri.
Tapi kini, bahkan ketua Tim Pemenangannya adalah Ketua DPRD dari lembaga yang ditudingnya sebagai pembuat anggaran 'dana siluman'.
(4) Tak pernah merasa bersalah saat menanggapi protes umat Islam atas kasus penistaan agama. Kekeuh dengan pendiriannya ketika kasus ini belum membesar.
Tapi setelah muncul gelombang jutaan muslim dalam aksi yang puncaknya AKSI BELA ISLAM III, menjadi berubah. Meminta maaf bahkan menangis saat membacakan pledoi di sidang perdana.
(5) Dan inilah yang terbaru. Sikap yang dipandang publik cenderung menyudutkan, merendahkan dan tak beretika terhadap Ketua MUI, KH. Ma'ruf Amin pada sidang lanjutan kasus penistaan agama. Bahkan mengancam akan membawanya ke proses hukum dengan tudingan kesaksian palsu.
Menolak dan tidak mau meminta maaf, tetapi setelah gelombang kemarahan masyarakat semakin membesar, hanya selang beberapa jam di portal online ini mengabarkan permintaan maaf dari Ahok.
--
Mungkin bukan hanya KONTROVERSI, tapi INKONSISTENSI sepertinya memang menjadi track record dari politisi yang kini berstatus terdakwa kasus penistaan agama ini. Kalau kata peribahasa, "Isuk dele, sore tempe". Pagi kedelai, sorenya tempe.
Comments
Post a Comment