Menang.
Menang. Rasanya senang tak berbilang. Girang bukan kepalang. Seolah ingin bersulang. Dengan gelas-gelas piala dibawah lampu benderang.
Suasana hati pun teramat riang. Seperti malam-malam penuh bintang. Lalu lampu sorot mengarah padamu, menerpa wajah sumringahmu. Silau. Terang.
Seketika kamu berada di panggung penghargaan. Namamu dipanggil dalam riuh dan gemuruh tepuk tangan. Diiringi alunan musik yang berdendang.
Ada piala dan podium sambutan. Ada histeria saling bersahutan. Dan kamu berdiri tegak dengan mikrofon dalam genggaman. Tersenyum sejenak lalu bersuara, lantang.
Tiba-tiba lampu-lampu padam. Semua gelap kecuali nyala hatimu. Aku dimana? Tanyamu ragu. Tak lagi ada suara-suara. Tak ada keramaian. Sunyi. Semua hilang.
Menang, memang memberikan kesempatan untuk menjadi besar. Tapi juga memberi celah yang sama besar untuk menjerumuskan. Tenggelam dalam pusaran pujian.
Dimana hatimu yang bersih tetiba murung saat tak ada lagi yang memuji? Dimana niatmu yang lurus lalu seketika luruh saat tak ada yang menyebut namamu?
Puncak yang menjulang membuatmu merasa tinggi. Kamu lupa bahwa banyak bahu yang rela menjadi injakan anak tanggamu untuk sampai di atas sana.
Kemilau lampu di panggung mewah menjadikanmu merasa wah. Kamu lupa ada berjuta doa yang rela terhampar untuk diinjak sebagai karpet merahmu?
Maka ingatlah jalan pulang, wahai pejuang. Pohon yang menjulang justru mudah tumbang saat angin kencang datang. Maka tetaplah menjadi ilalang yang merunduk rendah, saat badai datang berulang.
Dan terus ingatlah firman Tuhan saat manusia mulia bernama Muhammad menggapai kemenangan dalam penaklukan Kota Makkah. "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya."
Karena semua yang kamu genggam bukan berarti benar-benar milikmu. Karena semua yang kamu gapai bukan berarti hanya usahamu seorang. Semua akan lekang, kecuali amal kebaikan yang selalu hidup dan tak akan hilang.
.
.
03/01/2018
Comments
Post a Comment