Cinta,
jejak rindu tanpa rasa.
ruang mesra yang hampa.
Kulukis ia dengan air mata.
Kusimpan pada setangkai mawar dibalik punggung,
Biarkan durinya munusuk; perih menyerpih.
Ia, yang kutikam berulang kali dengan belati; agar mati,
tapi tetap tak bisa. Sia-sia saja.
***
Mataku nanar menatap pigura coklat di sudut meja segi empat tempatku biasa membaca. Aku terdiam sejenak. Menatap potret yang ada di dalamnya. Mengenang kisah lama yang ada di sana. Kisah dalam sendu yang basah.
Tanpa sadar, titik kristal bening mulai menggenang tipis di sudut mataku. Menggumpal. Lalu menggantung tak tertahan. Hingga akhirnya kubiarkan ia jatuh menumpahkan rindu. Dalam diam, dalam isak.
Seperti gerimis di luar sana. Rintik airnya adalah isyarat perjumpaan. Tentang langit yang merindu akan bumi. Meski tak berjumpa dalam sentuhan, ia mengirimkan pesan lewat tetesan.
***
Sebenarnya, perjumpaan dengannya bukanlah sebuah kesengajaan. Laki-laki mengesankan yang tak kukenal itu. Meski aku percaya, tulisan takdir telah memilih kami untuk bertemu. Sebuah goresan pena yang telah direstui oleh pemilik semesta.
Toko bunga itu memang sering aku lewati. Tapi baru sekali itu aku mampir. Itupun karena terburu-buru. Tugasku untuk segera mendapatkan buket mawar segar kesukaan Arin membuatku tak bisa menawar waktu.
Hingga akhirnya, untuk pertama kali aku bertemu dengannya. Laki-laki dengan senyum simpul menawan bersama segenggam mawar segar di tangannya.
***
"Cari apa?" sebuah suara ramah menyapa. Pemilik toko bunga segar ini ternyata. Masih muda, wajah yang teduh tapi memiliki guratan yang tegas. Usianya mungkin hanya terpaut sekitar tiga atau empat tahun di atasku.
Mengapa ada sesosok arjuna di sebuah toko bunga? Aku membatin dalam hati. Jujur aku terpesona dengan pemiliknya.
“Eh, iya, aku mau lihat-lihat bentar boleh ya.” Sembari kututupi kekagumanku pada pandangan pertama yang menyihir itu. Sambil kulirik Rolex Lady-Datejust yang melingkar anggun di pergelangan tanganku.
Hmm. Sudah pukul 16.30 sore. Aku harus bergegas. Teman-teman pasti sudah menunggu. Ini adalah hari spesial untuk Arin. Tak boleh terlewatkan sedetikpun.
Segera kupilih bunga segar kesukaan Arin. Ini adalah perayaan kesuksesannya meraih medali emas di Pekan Olah Raga Pelajar Tingkat Provinsi.
Arin, yang lembut itu, adalah karateka andalan sekolah kami, juga kesayangan Bapak Walikota. Berderet prestasi dan medali emas telah dipersembahkannya untuk sekolah dan kota ini.
***
Sejak kali pertama membeli mawar segar di tokonya, aku tergoda untuk datang kembali. Entah mengapa. Mungkin iseng. Mungkin juga tertarik padanya. Arin yang tahu hal ini, sering menggodaku jadinya.
Raka bukan saja sosok yang ramah, ia adalah sosok yang sangat mengerti memperlakukan setangkai bunga. Mungkin itu yang membuatku jatuh hati padanya. Rasa yang tak seharusnya ada.
Namun malang. Karena memang, tak semua rasa harus ada. Kejadian itu berlangsung cepat. Tepat disaat hobi baruku mengunjungi Raka seperti sebuah jadwal meeting yang padat. Andai bisa, kan kubuat waktu melambat, dan membiarkan pergi dari jalan hidupku.
Atau kutarik kaki ini agar tak mendekat padanya. Biar saja. Itu lebih baik. Daripada kelak, aku akan mengenangmu dengan cara seperti ini.
***
Sore itu, aku mengunjungi toko bunga lelaki penuh pesona itu untuk kesekian kalianya. Entah pesona apa yang membawaku untuk kembali kesana. Tak kusangka, Ryan, seseorang yang pernah mengisi ruang hatiku, membersamai hari-hariku, mengikuti dari jauh.
Aku tak kuasa menahan marah ketika ia masuk ke dalam toko bunga itu. Aku sudah memutuskan hubungan kami sejak dua minggu yang lalu. Dan ia memintaku kembali padanya. Tak kusangka, kehadiran Ryan sore itu, membawa bencana tersendiri.
Tiba-tiba ada suara teriakan-teriakan dari seberang jalan. Aku mengernyitkam dahi. Ada apa? Semua menjadi buram saat tiba-tiba mereka mengejar Ryan yang terpojok di dalam toko. Ryan hanya bertiga dengan dua temannya yang masih menunggu di mobil.
Kejadian yang berlangsung sangat cepat itu membuat aku tak mampu berbuat apa-apa. Hanya menjerit minta tolong sekuatku. Ternyata anak-anak itu adalah anak sekolah yang dikalahkan oleh tim basket Ryan pada kompetisi antar pelajar pekan lalu.
Aku panik tak menentu. Ryan tak bisa berbuat banyak. Pukulan demi pukulan dilayangkan ke wajah, kepala dan seluruh badannya. Raka tak berdiam diri. Dia menarik lenganku keluar toko. Berteriak ke sesama pedagang di sekitar persimpangan itu.
Dua teman Ryan baru sadar dan bergegas keluar dari mobil. Dan tak kusangka, Raka telah terlebih dahulu masuk kembali ke toko. Dengan meraih apa saja yang bisa ia raih, ia lemparkan ke arah gerombolan anak-anak pengecut itu.
Dan tak disangka. Diantara mereka ada yang membawa sebilah belati. Mungkin belati ini dipersiapkan untuk Ryan. Tapi takdir memilih lain.
Saat warga semakin banyak berkumpul dan mengerti apa yang terjadi, anak-anak itu mulai lari satu persatu. Tapi sebelum itu. Tanpa sepengetahuan banyak orang, belati tajam milik salah seorang diantara mereka telah menancap dalam di lambung Raka.
Darah segar mengalir. Membasahi setangkai mawar yang tadi kugenggam lalu berserakan sesaat Raka menarik tanganku keras.
***
"Aku Salsa, Kak. Salsabila Ayunda. Sudah seminggu ini tokonya nggak buka. Bunga-bunganya banyak yang layu dan rusak," Salsa bercerita sambil menata beberapa bunga segar.
"Maaf kak. Sejak kak Raka gak ada, kami bingung. Aku izin kak tiga hari terakhir ini nggak masuk sekolah. Buat beres-beres disini. Alhamdulillah ada sepupu yang juga bisa bantu-bantu, Kak."
"Terima kasih banyak ya kak sudah mau bantu keluarga kami. Padahal sebelumnya Salsa gak kenal siapa kakak."
“Oo, iya Kak. Aku sebenernya sering kesini. Tapi banyaknya hari Minggu. Soalnya Kak Raka gak ngebolehin. Aku harus fokus belajar katanya. Juga merawat Ibu yang lagi sakit.”
Salsa, adik Raka yang bungsu. Bercerita panjang lebar sembari membawakanku segelas minuman. Ini adalah pertemuan keduaku. Setelah prosesi pemakaman Raka minggu lalu. Pemakaman yang membuatku tak bisa beranjak dari perasaan ini.
"Oya, Sa. Kakak pamit dulu ya. Telpon kakak kalau ada yang bisa kakak bantu lagi," ucapku pada Salsa sebelum meniggalkan toko bunga itu.
***
"Aku aja yang nyetir, Kei. Tuh, matamu saja sembab. Setiap kesini kamu pasti begitu."
Aku melangkah menuju mobil putih di pinggir jalan. Kuserahkan kunci mobil ke Arin. Sahabat dekat yang bagiku sudah seperti keluarga.
"Yuk, Rin."
"Eh, kayaknya ada yang harus gue lakuin lagi buat keluarganya, Rin.."
"Apa itu? Kamu gak apa-apa, ngeluarin banyak duit gitu buat mereka?"
"Gpp. Entah kenapa aku jadi pengen banget bantu keluarga mereka. Apa yang gue lakuin ini tetep gak akan sebanding dengan kejadian waktu itu, Rin.."
"Tabunganku juga masih cukup kok. Aku juga udah bilang ama Mama. Mama mengerti dan nanti juga ikut bantu. Kamu tahu, Rin? Raka adalah tulang punggung keluarga. Ibunya sudah lama terbaring lemah di rumah karena sakit yang dideritanya."
***
Aku tersenyum kecut. Dalam pigura itu, tampak Arin sedang tersenyum lebar. Membawa buket mawar merah kesukaannya. Mawar yang sama dengan mawar yang basah dengan darah segar Raka.
Kuusap sedih di ujung mataku. Menutup lembar terakhir buku yang sedang kubaca. Lalu kubiarkan tubuhku berbaring dengan pikiran tak menentu. Menatap lamat-lamat lampu kamar. Dan hujan masih saja mengirimkan isyarat perjumpan di luar sana.
Comments
Post a Comment