Alhamdulillah, perjalanan dari Bandarlampung menuju Jakarta berjalan lancar. Hingga ketika memasuki sekitaran Monas, laju bus mulai melambat. Jalur kendaraan padat dan rekayasa lalu lintas sudah diberlakukan. Bus yang kami naiki susah untuk masuk ke stasiun Gambir. Hingga akhirnya para penumpang memutuskan untuk turun di daerah dekat stasiun saja.
Pukul 05.15 WIB, kami ikut turun sebagaimana penumpang lainnya. Ingin menuju ke masjid di area Gambir tapi cukup jauh. Lalu menanyakan masjid terdekat kepada seorang aparat berseragam TNI yang tampaknya sedang bertugas. "Di masjid PLN saja, Pak. Di sana juga disediakan logistik," sambil diarahkan dengan ramah oleh si Bapak.
Kami mengikuti petunjuk yang beliau berikan hingga sampailah di sebuah masjid yang nyaman. Masjid di komplek perkantoran PLN ternyata. Kami melangkah ke dalam, mencari tempat wudhu lalu melaksanakan shalat Subuh berjamaah. Ternyata sudah banyak rombongan dari berbagai daerah di Jabodetabek yang lebih dahulu transit di sana. Sebagian besar dari mereka sudah selesai shalat dan sedang melaksanakan zikir pagi atau membaca Al Quran.
Selesai shalat Subuh, kami berkumpul berlima (dua orang teman baru bertemu di dalam bus yang sama), duduk di bagian belakang masjid, di mana jamaah yang tadi sudah hadir sedang sarapan dari logistik yang sudah disediakan. Kami rehat bersama dan Alhamdulillah, lima kotak nasi sudah tersedia dari seorang teman yang telah mengambilkannya.
Wah, ini takjub saya yang pertama di pagi itu. Cerita-cerita berlimpahnya makanan di aksi 212 sebelumnya memang cerita nyata. Entah dari mana dan siapa saja. Begitu banyak tangan-tangan yang bermurah hati. Berlomba menginfakkan apa yang bisa mereka berikan.
Nasi kotak itu kami buka satu-satu. Wah, ini bukan logistik pagi yang ala kadarnya. Ini benar-benar dipersiapkan untuk menjamu para tamu. Entah siapa yang menjadi donatur, kami benar-benar bersyukur dan berterima kasih.
Nasi kotak itu diisi tiga lauk; udang, daging dan ayam. Nasi putihnya terbungkus rapi dalam bungkusan daun pisang yang hijau segar. Ditambah sayur tahu campur toge, kerupuk udang dan sambal sachet sebagai tambahan. Terpenuhi sudah rasa lapar ini mendapatkan jamuan yang sangat lengkap.
Terlebih, ini bukan hanya sekotak nasi. Ini adalah jamuan persaudaraan yang tak ternilai. Ada yang memberi tanpa tahu siapa yang akan menerima. Ada yang menerima tanpa tahu siapa yang memberi. Mungkin mereka hanya diperjumpakan dalam lantunan doa yang sama. Saat dua orang saling mendoakan kebaikan bagi saudaranya, tanpa sepengetahuan dirinya.
Terlebih, ini bukan hanya sekotak nasi. Ini adalah jamuan persaudaraan yang tak ternilai. Ada yang memberi tanpa tahu siapa yang akan menerima. Ada yang menerima tanpa tahu siapa yang memberi. Mungkin mereka hanya diperjumpakan dalam lantunan doa yang sama. Saat dua orang saling mendoakan kebaikan bagi saudaranya, tanpa sepengetahuan dirinya.
Kami menikmati kotak nasi itu sembari bercerita dan diselingi diskusi pagi yang hangat. Cuaca di luar yang bermendung tebal mulai menurunkan hujan dalam interval yang berulang. Hujan, reda, hujan, reda. Seterusnya hingga beberapa kali berulang.
Ah, hujan.
Kamu tahu apa yang dirindukan dari hujan?
Saat dimana derasnya keberkahan langit diturunkan ke bumi,
juga disaat yang sama, doa-doa terlantunkan dari bumi dan teristijabahkan di langit.
Maka saya penggalkan dalam tengadah tangan,
Allahumma shoyyiban naafi’a..
Ya Allah, jadikanlah hujan ini, hujan yang bermanfaat..
Seusai menunaikan persiapan, kami bergegas menuju masjid Istiqlal. Mengecek barang bawaan agar tak ada yang tertinggal. Sebagian rombongan yang lain sudah berangkat. Tapi rombongan lainnya terus berdatangan. Beberapa yang saya jumpai berasal dari Depok dan Cimahi.
Akhirnya kaki ini melangkah meninggalkan masjid. Mennggendong masing-masing tas di pundak. Menikmati masing-masing makna yang menyeruak. Pagi yang dingin, hangat dalam selimut persaudaraan. Menuliskan lembaran mimpi-mimpi di musim semi, melangitkan doa-doa bercahaya di waktu dhuha.
Tak seberapa jauh, hujan kembali jatuh. Dalam deras yang menjadikan awning tempat saya berteduh ini menjadi tempias, saya saksikan di jalanan, barisan-barisan yang memanjang itu tetap melangkah tegap. Basah rasanya hati ini. Maka kukutipkan catatan seorang teman untuk menutup bagian ini,
"Hujan tidak menghalangi, dia hanya membasahi.."
kerenn pak, tulisannya.
ReplyDeleteTerima kasih mas Zai. :)
DeleteHi there, all is going perfectly here and ofcourse every one is sharing information, that's truly fine, keep up writing. paypal mastercard login
ReplyDelete