Skip to main content

Ramai-ramai Harga Cabai



Akhir-akhir ini ramai harga cabai yang membumbung tinggi. Pedasnya bukan hanya terasa di lidah, tapi sampai juga ke kantong para pembeli. Bahkan di salah satu kota negeri ini, terkisah harganya mencapai 200 ribu rupiah per kilogram. Luar binasa. Baru kali pertama terjadi, sebuah rekor tersendiri.

Harga cabai yang tak terkendali, seingat saya pernah terjadi juga beberapa tahun sebelumnya. Bahkan isunya menjadi salah satu penyebab lengsernya mantan Menteri Perdagangan, Bapak Rahmat Gobel. Dan sekarang ini, salah satu artikel di portal media daring pun menyebut, Cabai Effect ternyata lebih dahsyat dibanding Trump Effect saat menghantam efek Jokowinomics.

Hingga kini, banyak pihak saling tuding dan berbalas komentar. Sampai munculnya anjuran dari Bapak Menteri kita, yang diaminkan sebagian netizen, agar rakyat menanam cabainya sendiri. Berkebun di rumah. Memanfaatkan pekarangan atau lahan kosong yang ada. Ditambah gerakan yang menggagas, "sejuta polybag untuk menanam cabai'.

Saya pribadi sepakat dengan anjuran dan gerakan ini. Sebuah aktivitas yang mengandung nilai kemandirian keluarga, ketahanan pangan, juga menyokong 'rumah hijau' di lingkungan perkotaan. Keluarga saya yang mewarisi darah petani, sudah jauh-jauh hari melakukan ini. Sejak saya kecil, Bapak dan Ibu punya kebun sayur di pekarangan atau halaman belakang rumah. 

Bukan hanya cabai, berbagai macam sayuran ditanam; terong, kemangi, tomat, singkong, bayam, kangkung, ubi kayu, ubi jalar, dan sebagainya. Bahkan saat sekarang Bapak Ibu lebih sering berdomisili di Bandar Lampung, aktivitas berkebun itu juga dibawanya ke sini. Membuat kebun mini dengan media polybag yang tanahnya dibawa dari kampung sendiri. Aneka sayuran dari terong, tomat, kacang panjang, cabai juga lainnya.

Tapi rasanya ada yang perlu dikritisi dari anjuran pemerintah ini. Yaitu, bahwa anjuran ini seperti tidak mengurai benang merah yang sesungguhnya. Mahalnya harga cabai harus dilihat dari faktor utama terjadinya kondisi itu sendiri. Apakah murni faktor alam seperti tingginya curah hujan yang menyebabkan gagal panen atau misalnya terkait tata kelola pada rantai perdagangan dan pertanian yang tidak berjalan dengan baik. 

Hal ini untuk memastikan negara hadir dalam setiap kebijakannya, baik naik atau turunnya suatu komoditi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bukan malah memberikan pernyataan atau jawaban yang terkesan ala kadarnya di mata masyarakat. "Jika hanya mengembalikan semunya ke rakyat, untuk apa ada pemerintahan?", begitu komentar sebagian masyarakat.

Salah satu kritik terhadap pemerintahan sekarang ini adalah mudahnya para pejabat publik dalam memberikan komentar yang tidak substansial pada permasalahan dasarnya. Misal penyataan bapak Kapolri terkaitan kenaikan biaya administrasi STNK dan BPKB yang mencapai ratusan persen, "Surat nikah saja bayar Rp 600 ribu, tidak ribut".

Atau yang terbaru, pernyataan bapak Presiden yang dengan entengnya memberi komentar mahalnya harga cabai ini, "Nggak usah beli cabai rawitBelinya cabai yang hijau, yang merah juga pedes, sama saja..", yang tak lama kemudian dibalas dengan meme, "Kalau cabai mahal gak usah dibeli, trus, kalau pajak mahal gak usah dibayar?".

Jika hanya dengan membuat silogisme sederhana seperti ini, dan kadang ditangkap sebagai jawaban main-main, maka jangan heran kalau kemudian memancing 'aksi balasan' dari masyarakat dengan membuat silogisme sederhana yang sama, yang banyak beredar dalam meme-meme yang lucu-lucu pilu.

Misal; 
Kalo harga jengkol mahal, apa iya disuruh ramai-ramai nanem jengkol? Kalau harga telor mahal apa iya disuruh ramai-ramai berternak ayam? Trus gimana kalau harga ikan tinggi, disuruh buat kolam sendiri, atau disuruh melaut sendiri?? Lebih repot lagi kalau harga daging sapi naik tinggi, apa iya masyarakat disuruh ramai-ramai ternak sapi (?) 

Nah, kalau misalnya sekarang situasinya dibalik. Kalau harga cabai mahal disuruh menanam sendiri, trus kalo harga karet, sawit, singkong murah disuruh ngapain? CABUTIN?? Kan gak LUTJU!


sumber gambar: http://cdn.jitunews.com/

Comments

  1. Hehe..itulah, ikut tertawa dengan dagelan kocak yg ngocak kesabaran rakyat. Periih brow.. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hee, iya mas Beni, pejabatnya suka ngomong sesuka hati, kayak lucu2an aja gitu, gak ngerasa kebijakannya punya dampak besar ke masyarakat luas.

      Delete
    2. Hee, iya mas Beni, pejabatnya suka ngomong sesuka hati, kayak lucu2an aja gitu, gak ngerasa kebijakannya punya dampak besar ke masyarakat luas.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Degan Bakar : Hangat dan Penuh Khasiat

Degan Bakar | Dokumentasi Pribadi Well , ini postingan pertama saya setelah sekian lama tak mengunjungi blog ini. Blog yang niat awalnya dibuat agar rajin nulis. Eh ternyata istiqomah itu emang gak gampang. Sedikit curhat yaa.. Hee.  Btw , sekarang saya lagi ikutan kelas Ngeblog Seru yang dikelola Mbak Naqi, salah satu founder Tapis Blogger. Di kelas ini, kita dapet materi dasar tentang ngeblog, juga sharing ilmu dari peserta lainnya. Oya, kelas ini memakai WhatsApp Group (WAG) sebagaimana kelas-kelas materi online yang sekarang lagi ngetren.  Nah, kami diberi tugas pertama untuk membuat artikel bertemakan kuliner. "Boleh apa saja, nanti akan di-review," ujar Mbak Naqi sebagai mentor kami. Akhirnya, setelah membuat beberapa alternatif ide, saya pilih degan bakar sebagai sajian spesial.  Sepulang kerja sore ini, saya bergegas menuju lokasi. Tempatnya tepat di samping kiri Chandra Kemiling.  Cusss.. Alhamdulillah, warungnya buka. Asap putih mengepul dari te