Yap. Untuk pertama kalinya, semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar, kembali menjadi petugas upacara. Saat SD dulu pernah menjadi pembaca Pancasila sampai sebagai pemimpin upacara. Tapi itu dulu. Sudah lama sekali. Hingga tibalah di akhir Desember lalu, Biro kami dijadwalkan menjadi petugas upacara mingguan di lingkungan Pemprov Lampung.
Setelah penunjukan masing-masing petugas melalui SPT Kepala Biro, latihan kami lakukan di hari Jumat pekan lalu. Dua kali, pagi dan sore. Seusai senam mingguan dan dilanjutkan sepulang kerja. Rekan saya, Felix 'koko' Aji Prabowo ditugaskan sebagai pembaca Panca Prasetya Korpri, sedangkan saya sendiri sebagai petugas pengibar bendera.
Saat memulai latihan itu, ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Sebagai pasukan pengibar, saya menempati posisi di tengah yang bertugas sebagai pembawa bendera. Jujur, kurang pede, karena pengalaman yang sangat minim. Sedangkan dua rekan pengibar bendera lainnya berasal dari Satpol PP dan alumni IPDN. Jelas sangat terbiasa dengan dunia baris berbaris.
Latihan berjalan agak tersendat, karena salah satu petugas pengibar bendera yang ditunjuk mengundurkan diri dan harus dicari penggantinya. Alhamdulillah, di siang Jumat itu sudah ada penggantinya sehingga latihan bisa dilakukan dengan maksimal sore harinya.
Dan tibalah saatnya, pagi kemarin. Upacara yang dinanti. Sebenernya sempat berdoa agar hujan turun deras. Hingga upacaranya batal. Tapi ternyata doanya tidak dikabulkan. Hanya mendung dan rintik halus di pagi hari yang menyingkir perlahan setelahnya. Akhirnya semua harus dihadapi dengan gagah berani. Hee.
Wah, ternyata sisi emosionalnya luar biasa juga menjadi petugas upacara ini. Especially buat saya pribadi. Terasa sekali jiwa nasionalismenya. Bendera merah putih ada di kedua lengan yang terbuka, saya pegang erat, sejak persiapan upacara dimulai.
Matahari pagi turut menghangatkan suasana. Mendung yang sejak pagi bergelayut mulai sirna, bergeser mengikuti arah angin. Awan putih menggantikannya perlahan. And here we are, petugas upacara yang penuh deg-degan.
Saya merapal doa perlahan. Menikmati kepasrahan yang dalam. "Merah putih ini dahulu diperjuangkan dengan darah, itu pesan pak Kasat", ujar seorang petugas Pol PP yang mendampingi kami sejak latihan Jumat itu. Membuat saya haru dan bangga.
Finally, saat yang dinantikan tiba. Pembawa acara mulai membaca susunan acara dengan suara tegas. Satu per satu acara dimulai. Dari laporan pemimpin upacara, terus, hingga tiba pada kalimat, "Pengibaran bendera Merah Putih dipimpin oleh Pemimpin Upacara", terlantang tanpa ragu dari mbak Bunga yang menjadi pembawa acara pagi itu.
Komando langsung disuarakan lirih penuh wibawa. "Langkah tegap maju..jalan!". Derap kaki melangkah beriringan, berlomba dengan degup jantung yang penuh debar. Menjaga keseimbangan gerak dan fokus. Hingga langkah ini berhenti tepat di bawah tiang bendera. Bersiap melakuka prosesi pengibaran bendera.
Melepas tali, mengaitkannya bendera, hingga menahan nafas saat teman yang di samping kiri bersiap dengan gerakan membentang bendera. Lalu Merah Putih pun terbentang gagah. Berkibar sempurna dalam terpaan angin, bersamaan dengan Indonesia Raya yang menggema, memenuhi setiap sudut lapangan Kopri ini.
Hingga syair di penghujung, "Indonesia Raya.. Merdeka Merdeka.. Hiduplah Indonesia Raya", lalu tali diikatkan kembali ke tiang. Melakukan langkah mundur, lalu memberikan penghormatan dan kembali ke tempat awal penuh dengan senyum dan rasa syukur. Alhamdulillah. Tugas tertunaikan dengan baik.
Prosesi terus berlanjut. Hingga sampai pada pembacaan UUD 1945 dan pengucapan Panca Prasteya Korpri. Dua petugas maju dalam derapnya. Memberi laporan kepada pembina upacara. Lalu memulai tugas. Hingga sampailah giliran pengucapan Panca Prasetya Korpri yang diucapkan lantang oleh koko Felix. Tanpa koreksi satu katapun.
Dan setelah semuanya selesai, saya baru tahu, ternyata menjadi petugas upacara itu seperti menjadi pahlawan yang baru pulang dari medan perang. Disambut penuh suka cita, ditaburi ungkapan terima kasih, ucapan selamat dan jabat tangan hangat. Baik saat masih di lapangan upacara apalagi ketika tiba di ruangan kantor. Dari kepala Biro, kepala bagian sampai dengan teman-teman.
Saat memulai latihan itu, ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Sebagai pasukan pengibar, saya menempati posisi di tengah yang bertugas sebagai pembawa bendera. Jujur, kurang pede, karena pengalaman yang sangat minim. Sedangkan dua rekan pengibar bendera lainnya berasal dari Satpol PP dan alumni IPDN. Jelas sangat terbiasa dengan dunia baris berbaris.
Latihan berjalan agak tersendat, karena salah satu petugas pengibar bendera yang ditunjuk mengundurkan diri dan harus dicari penggantinya. Alhamdulillah, di siang Jumat itu sudah ada penggantinya sehingga latihan bisa dilakukan dengan maksimal sore harinya.
Dan tibalah saatnya, pagi kemarin. Upacara yang dinanti. Sebenernya sempat berdoa agar hujan turun deras. Hingga upacaranya batal. Tapi ternyata doanya tidak dikabulkan. Hanya mendung dan rintik halus di pagi hari yang menyingkir perlahan setelahnya. Akhirnya semua harus dihadapi dengan gagah berani. Hee.
Wah, ternyata sisi emosionalnya luar biasa juga menjadi petugas upacara ini. Especially buat saya pribadi. Terasa sekali jiwa nasionalismenya. Bendera merah putih ada di kedua lengan yang terbuka, saya pegang erat, sejak persiapan upacara dimulai.
Matahari pagi turut menghangatkan suasana. Mendung yang sejak pagi bergelayut mulai sirna, bergeser mengikuti arah angin. Awan putih menggantikannya perlahan. And here we are, petugas upacara yang penuh deg-degan.
Saya merapal doa perlahan. Menikmati kepasrahan yang dalam. "Merah putih ini dahulu diperjuangkan dengan darah, itu pesan pak Kasat", ujar seorang petugas Pol PP yang mendampingi kami sejak latihan Jumat itu. Membuat saya haru dan bangga.
Finally, saat yang dinantikan tiba. Pembawa acara mulai membaca susunan acara dengan suara tegas. Satu per satu acara dimulai. Dari laporan pemimpin upacara, terus, hingga tiba pada kalimat, "Pengibaran bendera Merah Putih dipimpin oleh Pemimpin Upacara", terlantang tanpa ragu dari mbak Bunga yang menjadi pembawa acara pagi itu.
Komando langsung disuarakan lirih penuh wibawa. "Langkah tegap maju..jalan!". Derap kaki melangkah beriringan, berlomba dengan degup jantung yang penuh debar. Menjaga keseimbangan gerak dan fokus. Hingga langkah ini berhenti tepat di bawah tiang bendera. Bersiap melakuka prosesi pengibaran bendera.
Melepas tali, mengaitkannya bendera, hingga menahan nafas saat teman yang di samping kiri bersiap dengan gerakan membentang bendera. Lalu Merah Putih pun terbentang gagah. Berkibar sempurna dalam terpaan angin, bersamaan dengan Indonesia Raya yang menggema, memenuhi setiap sudut lapangan Kopri ini.
Hingga syair di penghujung, "Indonesia Raya.. Merdeka Merdeka.. Hiduplah Indonesia Raya", lalu tali diikatkan kembali ke tiang. Melakukan langkah mundur, lalu memberikan penghormatan dan kembali ke tempat awal penuh dengan senyum dan rasa syukur. Alhamdulillah. Tugas tertunaikan dengan baik.
Prosesi terus berlanjut. Hingga sampai pada pembacaan UUD 1945 dan pengucapan Panca Prasteya Korpri. Dua petugas maju dalam derapnya. Memberi laporan kepada pembina upacara. Lalu memulai tugas. Hingga sampailah giliran pengucapan Panca Prasetya Korpri yang diucapkan lantang oleh koko Felix. Tanpa koreksi satu katapun.
Dan setelah semuanya selesai, saya baru tahu, ternyata menjadi petugas upacara itu seperti menjadi pahlawan yang baru pulang dari medan perang. Disambut penuh suka cita, ditaburi ungkapan terima kasih, ucapan selamat dan jabat tangan hangat. Baik saat masih di lapangan upacara apalagi ketika tiba di ruangan kantor. Dari kepala Biro, kepala bagian sampai dengan teman-teman.
**
Seusai upacara yang menegangkan itu, kami berjalan berlima, bersama rekan sejawat PNS di angkatan yang sama. Saya dan Felix di kantor yang sama, sedang tiga lainnya di kantor Dinas PPPA; Heny, Yahya dan bang Andi --yang kantornya memang berdekatan dengan kami.
Sesampainya di depan gedung Pusiban itulah, muncul ide untuk mengambil foto. Awalnya ingin mengambi latar air mancur yang ada di depan gedung itu. Tapi karena tempiasnya cukup membuat baju basah, maka opsi itu dibatalkan. Lalu atas usul bang Andi, kita mengambil latar taman hijau yang banyak dihiasi pepohonan.
Sehingganya pas ada seseorang sedang melintas, kami pun meminta tolong untuk mengambilkan gambarnya. Dan jadilah foto di atas. Foto yang ketika di posting di grup kami tetiba mengingatkan teman-teman akan kejayaan serial drama Taiwan era 2002, "Meteor Garden".
Sehingganya pas ada seseorang sedang melintas, kami pun meminta tolong untuk mengambilkan gambarnya. Dan jadilah foto di atas. Foto yang ketika di posting di grup kami tetiba mengingatkan teman-teman akan kejayaan serial drama Taiwan era 2002, "Meteor Garden".
Sejujurnya, saya sendiri tidak pernah menonton drama ini. Tapi saya ingat bagaimana hebohnya. Seorang teman (perempuan) sekelas saat SMA rela menghabiskan libur akhir pekannya untuk menonton drama ini dari belasan CD yang disewanya. Bahkan sampai hampir tidak tidur katanya.
Lalu di hari Senin paginya, saling bercerita dengan detil dengan teman sebangkunya. Sepanjang hari saat Bapak Ibu guru mengajar di kelas. Dan saya yang duduk tepat di depannya harus terkena imbas dua remaja SMA yang sedang demam drama itu. Hehe.
Lalu di hari Senin paginya, saling bercerita dengan detil dengan teman sebangkunya. Sepanjang hari saat Bapak Ibu guru mengajar di kelas. Dan saya yang duduk tepat di depannya harus terkena imbas dua remaja SMA yang sedang demam drama itu. Hehe.
Dan seperti berita-berita yang seringkali menampilkan kabar terkini tentang artis-artis masa lalu, maka tertulislah judul berita di reka jenaka pikiran saya,
Dan beginilah 'Nasib Para Pemain Meteor Garden Sekarang' saat menjadi PNS. :D
Comments
Post a Comment