Pembuka
Nilai 410, dalam tes
CPNS, adalah sesuatu yang sangat luar biasa buat saya. Malah bisa dibilang
keajaiban. Sebuah mukjizat, dalam arti sederhananya.
Dan jujur, saya sendiri
tidak pernah membayangkan bisa mendapatkan nilai sebesar itu. Karena saat
mendengar teman-teman ada yang mendapat nilai 370-an saja saya sudah merinding,
"Wah, gede banget ya..", batin saya.
**
Sebenernya, entah kali ke
berapa, saya menolak secara halus permintaan keluarga untuk mendaftar tes CPNS.
Permintaan yang seringkali membuat saya bersitegang dengan pendirian, bekerja
tak harus menjadi PNS, kan?
Secara pribadi, saya
berpendapat bekerja bisa dimana saja, asalkan baik dan bermafaat untuk banyak
orang. Salah satu alasan yang membuat saya begitu nyaman bekerja di lembaga
pendidikan non-formal, sebuah Bimbingan Belajar.
Di antara teman-teman
lainnya, mungkin saya juga yang paling kalem saat hampir setiap tahunnya heboh tes CPNS. Tapi, untuk kali ini, saya tak kuasa lagi menolak.
Diawali cerita kakak
perempuan saya, "Bapak itu sampe mbrebes mili loh kamu gak mau daftar tes CPNS, nelongso banget kayaknya. Kenapa tho
Uud gak mau daftar. Dah sekolah tinggi-tinggi padahal".
"Ya mbok nanti kalo
ada bukaan lagi daftar dulu, yang penting Bapak Ibu seneng kamu udah mau
daftar", begitu petuah mbak, mengakhiri pembicaraan di atas sepeda motor saat
mengantarkannya ke sebuah terminal bus.
DEG..! "Hatiku
utuh, tapi separuhnya lumpuh..", mendengar permintaan yang dalam ini.
Saya mengerti betul
kedalaman harapan ini. Tidak banyak hal yang bisa membuat Bapak atau Ibu perih hingga terlihat oleh anak-anaknya.
Rasanya begitu
menyesakkan. Lalu perlahan, hati ini berdamai dengan keinginan keluarga, agar
nanti kalau ada pembukaan tes CPNS insya Allah akan ikut mencoba. Ah, akhirnya,
batin hatiku.
**
Tak pernah terbayang,
menjadi PNS, profesi kebanggaan masyarakat umum. Bahkan sebagiannya rela
merogoh uang ratusan juta untuk berebut kursi di posisi ini.
Abdi negara yang seringkali justru diberi label negatif; suka pulang cepet, lalu nge-mall atau ke
pusat perbelanjaan di jam kerja (seperti yang sering tertangkap kamera
televisi atau jepretan wartawan), plus kinerja buruk dalam layanan publik;
hingga muncul anekdot, "kalau bisa lama kenapa harus cepat".
Selain permintaan itu,
ada dua hal teknis yang juga membuat saya mudah berdamai dengan pilihan
mendaftar tes ini. Pertama, tes ini berbasis CAT (Computer Assisted
Test), dimana tesnya dilakukan secara komputerisasi dari pengerjaan hingga
penyajiannya.
Tidak butuh waktu lama,
cukup 15 menit saja untuk mengetahui hasil tes secara keseluruhan dalam satu
gelombang. Hal ini tentu sangat efektif mengurangi kecurangan yang marak
dibicarakan khalayak.
Kedua, pendafatran tidak
ribet karena pemberkasan dilakukan setelah lulus tes tertulis. Bukan seperti
tahun-tahun sebelumnya yang harus diurus sejak awal pendaftaran sebagai
peserta.
Jujur, saya gak suka
ngurus-ngurus berkas, apalagi yang bersentuhan dengan birokrasi. Entah karena
trauma karena selalu beribet atau terpengaruh persepsi buruk yang berkembang di
masyarakat (eh, malah sekarang jadi
bagian dari birokrasi).
**
Bagian Satu : 09 Desember 2014.
Jarum jam mendaki perlahan, satu-satu menuju pukul 14.00 WIB. Mata masih terasa
mengantuk saja, setelah sebelumnya tak kuat menahan diri untuk tiduran di atas
karpet plastik biru di ruang tamu, selepas berjibaku bersama teman-teman
bermain badminton di pagi harinya.
Niatnya maen badminton
mah ya hanya sejenak, untuk menyegarkan badan aja and ketemu temen-temen,
plus minta doanya gitu, eh malah keterusan laju kecapekan.
Harus segera
beres-beres, pikirku. Ah,
rasanya lebih seger mandi lagi agar fresh.
Mandi, dan siap-siap.
Sudah hampir pukul 15.00 WIB. Sesuai ketentuan, peserta harus sampai di lokasi satu jam sebelum tes dimulai. Artinya harus sampai paling lambat pukul 15.15 WIB.
Waktu tes saya ada di
sesi 6 yaitu pukul 16.15 s.d 17.45 WIB. Kebiasaan nih sukanya yang buru-buru.
Padahal sebelumnya masih nyantai. Hee.
Pamit ama Ibu, cium
tangannya, dan seperti biasa, 'ritual' berpamitan setiap akan pergi. Ibu
mencium kening anak kecilnya yang sudah tak lagi kecil ini. Sambil berpesan, hati-hati
di jalan, kerjakan dengan baik, dan banyak berdoa.
Aku tersenyum, dan Ibu
pun tersenyum. Melepas kepergian bungsunya untuk ikut tes yang telah dinantinya
bertahun-tahun. Ponakan kecil saya juga mengiringi kepergian dengan ceria,
selepas mencium tangan Oom-nya ini.
Tradisi sejak kecil di keluarga, mencium tangan saat pamitan, sebagai tanda penghormatan dan pemintaan doa.
Tradisi sejak kecil di keluarga, mencium tangan saat pamitan, sebagai tanda penghormatan dan pemintaan doa.
**
Memacu si Honda CB 150R
putih yang sudah membersamai selama 2 tahun terakhir. Melaju kencang, melewati
jalanan kecil ke luar gang, ke jalan besar Imam Bonjol. Menyusuri aspalnya,
menyelinap di antara kendaraan bermotor lainnya, hingga sampailah di pertigaan
terminal Kemiling.
Mengambil tikungan ke
kiri, lalu terus melaju. Menuju lampu merah Pramuka, mengambil arah ke kanan,
terus sampai lampu merah gerbang Unila. Dan akhirnya, tiba di lokasi, SCSC
UNILA .
Sesampainya di sana, saya
melihat seseorang yang tak asing. Kakak tingkat sewaktu kuliah di Teknik
Elektro Unila, yang sekarang menjadi dosen di sana. Kak Gigih Fordanama. Lekat
nama ini karena adik beliau adalah rekan saya di angkatan 2002, Osen Filinami.
Kak Gigih sedang
memeriksa kelengkapan seorang peserta tes CPNS. Oh, Ternyata tes ini cukup
ketat. Tak seorangpun peserta diperbolehkan membawa peralatan, tanpa
terkecuali.
Saya mendapat giliran
setelahnya. Menyiapkan senyum dan sapa walau ragu. Khawatir beliau gak kenal
atau dibilang sok kenal. Hehe. Ternyata beliau masih ingat, sembari membalas
senyuman saya dan mengajak bersalaman.
"Eh, Arif. Wah,
ikut tes juga ya. Tadi ada Tunjung, Ratna, temen-temen kita dari Elektro
lho.." Sembari meminta saya untuk menyerahkan semua perlengkapan, tas,
dompet, hape bahkan jam tangan. Gak boleh ada yang dibawa kecuali KTP dan Kartu
Ujian Peserta.
"Oke, udah semua
kan. Kalo mau shalat lurus aja kesana dulu, di pojok. Kamar mandinya di sebelah
kiri.. Oke, good luck ya!" , lanjutnya ramah.
"Iya, makasih banyak, Kak!".
"Iya, makasih banyak, Kak!".
**
Saya memilih masuk ke
dalam ruangan, memastikan harus ngapain dulu di sana. Peserta harus datang satu
jam sebelumnya untuk proses pengecekan data, megnisi daftar hadir, pengarahan penggunaan software CAT dan persiapan ke ruang tes.
Masuk ke ruangan, duduk
mengantri, sambil memperhatikan kesibukan sekitar. Ternyata ada tiga ruang
kesibukan di sana. Ruang pertama memastikan kecocokan data peserta, kedua untuk
mengisi daftar hadir dan ketiga bagian pengarahan penggunaan
software CAT.
Ah, awalnya saya pikir
waktu satu jam masih bisa digunakan untuk belajar ringan (kebiasaan SKS
--sistem kebut sejam..hehe). Eh, ternyata tak boleh ada benda apapun yang boleh
dibawa. Padahal niatnya masih pengen buka-buka UUD '45 yang baru dibaca selepas
zuhur tadi.
Setelah melakukan cross
check data peserta dan mengisi daftar hadir, saya memutuskan untuk
shalat Ashar terlebih dahulu. Meminta izin kepada panitia dengan menyerahkan
Kartu Ujian Peserta, lalu menuju mushola.
Ah, ruang ini. Saya
ingat, dulu sering shalat di sini. Saat masih menjadi mahasiswa. Awal-awal, dan
akhir-akhir kuliah. Tengah-tengahnya kemana ya? Entahlah :D
Shalat, lalu sejenak
duduk setelahnya. Menyimpuh. Menengadahkan tangan.
Rabbi, beri hamba
yang terbaik. Kalau menjadi PNS adalah jalan terbaik-Mu, semoga itu yang hamba
raih. Jika tidak, hamba sangat senang untuk tetap melanjutkan pekerjaan di
Hafara. Engkau yang Maha Berkendak dan Mengetahui.
Pinta saya ke Rabb pemilik segala rencana.
Pinta saya ke Rabb pemilik segala rencana.
Lepas. Lepas semua beban
untuk harus lulus. Sudah, ikhtiarkan saja yang terbaik, dan hasil adalah
pilihan Allah. Kerjakan bahagianmu, biarkan Allah yang menyempurnakannya.
Tenang rasanya hati ini,
melangkah kembali ke ruangan peserta yang sedang khusyuk menyimak paparan
penggunaan software CAT yang ditayangkan dari sebuah proyektor. Saya pun
ikut menyimaknya, mungkin sekitar 30 menit.
Bukan hal yang sulit
sebenernya, karena juga sudah pernah melakukan simulasi dari software yang diberikan seorang teman, walau tak persis sama.
**
Bagian Dua : 09 Desember 2014, 16.15
WIB.
Detik-detik mengerjakan
soal-soal lewat software CAT dimulai. Ada tiga tipe soal yang ada
dalam satu paket; TWK (Tes Wawasan Kebangsaan), TIU (Tes Intelejensi Umum) dan
terakhir TKP (Tes Karakteristik Pribadi).
Dalam mengerjakan soal
ini saya memang sudah menyiapkan langkah-langkah teknis. Mengerjakan terlebih
dahulu soal-soal yang sifatnya bukan hitungan, artinya seluruh soal TWK, bagian bahasa di TIU dan soal TKP.
Baru setelahnya soal TIU yang hitungan.
Poin utamanya (dalam soal
non hitungan ini) juga adalah, saya memutuskan untuk tidak meninggalkan soal
yang saya kerjakan itu dengan jawaban kosong alias tidak boleh terlewati
satupun.
Bagaimapun bingungnya
dalam menetapkan pilihan, harus membuat keputusan, memilih satu diantara 5
jawaban yang tersedia. Pertimbangannya karena tidak ingin terbebani dengan soal
yang jawabannya bolong-bolong seshingga harus kembali memeriksa jawaban soal
yang bolong tersebut.
Karena waktu terakhir
akan saya fokuskan untuk menyelesaikan soal TIU yang hitungan. Soal ini
sebenernya tidak terlalu susah, tapi jika tidak terlatih maka akan menyulitkan,
karenanya sering membuat kita kehilangan banyak waktu.
Ini jugalah yang menjadi
pertimbangan mengapa pengerjaan soal ini saya letakkan di bagian akhir. Karena,
poin atau nilai semua tipe soal adalah sama. Jika waktu kita habis dalam
mengerjakan soal tipe TIU yang isinya hitungan, maka akan sangat merugikan.
Waktu berjalan begitu
cepat. Yap, seperti biasa, saat menjalani ujian, waktu selalu terasa kurang.
**
Awalnya, memasuki bagian
awal soal TWK (nomor 1-5) saya kaget karena justru ada soal Bahasa di sana
(biasanya masuk di tipe soal TIU). Saya pikir apakah tipe soal akan berbeda
dengan latihan-latihan yang selama ini saya kerjakan.
Tapi Alhamdulillah ternyata
tidak, mungkin hanya sedikit perubahan susunan saja. Dan ini bisa jadi catatan,
agar kita siap, tidak kaget dengan kemungkinan perubahan komposisi atau susunan soal pada
saat tes.
TWK adalah bagian yang
paling susah menurut saya, karena di sini lebih kepada hafalan dari
materi-materi yang sangat jarang ditemui. NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka
Tunggal Ika.
Selanjutnya, mengerjakan
soal TKP. Kunci dari soal ini adalah memilih jawaban paling ideal. Jadi kita
dituntut sebagai orang yang paling baik dalam sebuah kondisi. Bukan sebagai
diri dalam kondisi nyata yang tentunya banyak kekurangan.
Kalo becandaannya dengan
temen-temen, "Ya, pokoknya lo jadi anak paling baik lah".
Hee.
Dalam penilaian TWK ini,
interval nilainya dari 1-5 yang menunjukkan ketepatan jawaban. Jadi jawaban
tidak ada yang salah, tinggal mana jawaban yang terbaik.
Usahakan mengejar poin 5 atau 4 di masing-masing soal ini. Tapi perlu dicermati juga hal-hal yang realistis agar tidak memilih jawaban yang terlalu berlebihan.
Usahakan mengejar poin 5 atau 4 di masing-masing soal ini. Tapi perlu dicermati juga hal-hal yang realistis agar tidak memilih jawaban yang terlalu berlebihan.
Untuk soal hitungan TIU,
kita berlomba dengan waktu. Kelincahan dalam membaca alur soal menjadi kunci
kecepatan penyelesainnya. Selain soal Bahasa (verbal), ada tipe soal numerikal
juga logika.
Biasanya di soal-soal ini
pengerjaan waktunya paling lama (apalagi untuk anak sosial), bahkan sering
membuat kehabisan waktu. Soalnya mirip-mirip Matematika, walau sebenernya ada
perbedaan mendasar dari logika atau cara penyelesainnya (kata sebuah buku,
hee).
**
Ada satu pesan yang
sangat saya ingat dari sahabat saya, kak Nandar, saat sedang ngobrol bersama
teman-teman yang lebih dahulu mendapatkan giliran gelombang tes,
"Satu nilai sangat berarti".
Saya merekamnya sebagai
sebuah nasehat yang sangat berharga. Sehingga terus berusaha menjawab dengan
sebaik-baiknya. Karena dalam kompetisi seperti ini, kursi yang tersedia pasti sangat terbatas. Maka satu poin pun bisa menentukan lulusnya seseorang.
Bahkan, jika merujuk
aturan Panselnas KemenPAN-RB, mungkin saja muncul hasil yang sama antar
peserta. Oleh karenanya, jadikanlah berharga keseluruhan soal dengan semaksimal
mungkin mempelajari dan menguasai masing-masing tipenya.
Satu lagi, biasakan diri mengelola
emosi jiwa ala-ala motivator. Hee. Pengalaman saat tes adalah dapet bangku yang
tidak nyaman. Ceritanya, dalam ruangan tes itu, dua meja dijadikan satu agar
bisa dipakai oleh tiga orang (mungkin untuk menambah kapasitas ruang).
Nah, saya dapet di bagian
tengahnya. Sehingga terasa tidak nyaman. Saya baru sadar saat ruangan sudah
hampir penuh. Pengen ngomel awalnya, dan
bawaannya dah emosi aja. Gimana sih panitia ini. Bla Bla Bla!!!
Tapi saya sadar, tidak
akan banyak manfaatnya. Pilihannya, pindah atau lapangkan dada. Karena sudah
susah untuk pindah, akhirnya saya terima dengan senyuman.
Jujur deh, kalo kebawa
baper (apalagi saat tes seperti ini yang biasanya tegang dan mudah tersulut), saya
sih yakin bakal kebawa juga pas ngerjain soal. Ujung-ujungnya malah emosi jiwa
tingkat tinggi dan mengganggu konsentrasi.
**
Pengalaman pribadi saya,
ternyata ada kebiasaan-kebiasaan harian
yang secara tidak langsung sangat membantu secara keseluruhan dalam pengerjaan
masing-masing tipe soal.
Pertama, kesukaan membaca.
Kalau dikerucutkan, sebenernya membaca berita di media daring (online) dengan tema politik. Dari
sini kita jadi dekat dengan tema perundangan, hukum, politik dan
teman-temannya. Ini ternyata sangat berguna saat mengerjakan soal-soal TWK.
Membuat kita gak alergi
berdekatan dengan pasal-pasal, peristiwa bersejarah, perundangan dan lainnya.
Selanjutnya, banyak membaca (berita) juga membuat kita terlatih membuat
kesimpulan yang cepat dari sebuah paragraf dan keutuhan isinya.
Sehingganya sangat
membantu saat mengerjakan soal-soal bahasa (khususnya bagian paragraf yang barisnya panjang-panjang itu).
Kedua, saya termasuk penyuka bahasa dan sastra. Sesekali menulis ringan apa yang terjadi di sekitar. Malah
suka dibecandain ama temen-temen, kalo saya ini bukan Teknik Elektro, tapi
Teknik Sastra. Hee.
Bahkan saya punya kebiasaan mengirim sms ke salah satu guru Bahasa Indonesia di tempat saya
bekerja, menanyakan ejaan yang sesuai dengan EYD jika saya masih bingung.
Kebiasaan ini membuat
kita dekat dengan aksara, kata, dan bahasa. Sehingga sangat bermanfaat saat
mengerjakan soal TIU yang pasti berisi soal paragraf, kata baku, logika bahasa,
sinonim dan antonim.
Alhamdulillah, karena
merasa dekat, maka bertemu soal-soal seperti inipun rasanya seneng aja. Gak
harus kaget mengeja soal dan mencari jawabnya, tapi lebih mirip sedang
berbincang hangat dengan seorang teman dekat. :D
Ketiga, dan ini saya syukuri,
secara keilmuan saya lahir dari jalur ilmu eksak. Jadi tidak asing dengan angka
dan logika Matematika. Dengan basic ini, Alhamdulillah sangat membantu
mengerjakan soal-soal TIU yang sifatnya hitungan.
Terlebih, dan juga yang
membuat saya banyak berucap terima kasih, di Bimbel Hafara ada komunitas TPA
(Tes Potensi Akademik) yang isinya adalah pengajar-pengajar hebat dari berbagai
bidang studi khususnya Matematika.
Dari sinilah saya banyak
belajar penyelesaian soal-soal TIU karena memang bisa dibilang mirip-mirip
alias sebelas duabelas. Hee.
**
Bagian Tiga : 410.
Detik paling menegangkan
justru ada di bagian akhir. Sore itu, setelah selesai mengerjakan semua soal
dan memastikan ulang jawaban, ada angket isian dari sistem CAT. Sebagai bagian
akhir dari proses tes ini, mungkin digunakan untuk feed back.
Saya ingat, masih ada
waktu sekitar 3 menit sebelum aplikasi tertutup secara otomatis. Antara ingin
bilang SELESAI dan menunggu, dalam hati. Ruangan hampir kosong. Mata
pengawas serasa menatap lekat. Hufftt.
Bismillah. Menekan tombol
tanda SELESAI sembari membisik doa. Seperti adegan slow motion rasanya
detik-detik itu. Mengambil jeda nafas, menumpuknya di rongga dada. Memejam
sejenak, menguatkan diri.
Ikhtiar terbaik, dan
biarlah Engkau menuliskan takdir-Mu. Lalu.. keluarlah angka tiga digit
itu. Kesatuan angkat yang membuat saya bener-bener kaget, shock. Lemas
rasanya lutut ini. Nafas memburu, pikiran berlari kencang seperti kuda pacu.
Ada perasaan bersyukur
berkepanjangan yang tak bisa disembunyikan tentunya. Tapi jujur menyelipkan sedih
yang mencacah perasaan. Bahagia, sendu, takut kehilangan jadi
satu. Melayangkan pikiran pada satu tempat, Hafara. Duhai. Haruskah semua akan
berakhir di sini? Hiks.
Buru-buru saya ambil
pensil yang sejak awal disediakan panitia. Waktu tak lagi banyak untuk tetap di
sana. Panitia sudah bergegas mengumpulkan perkakas ujian yang telah ditinggal
masing-masing peserta.
Dalam debar dan gemetar,
saya gores angka-angka itu satu-satu, di balik Kartu Ujian Peserta yang
tercetak Penggerak Swadaya Masyarakat sebagai pilihan pertamanya.
TWK 135.
TIU 120.
TKP 155.
___ 410.
**
410, dan setelahnya saya
menjadi tahu, bahwa nilai itu sangatlah besar.
Baru saja keluar ruangan,
tiba-tiba seorang dosen yang saya kenal bergegas "menyambut". Seorang dosen Ilmu Komputer, sosok yang sangat menginspirasi selama
berinteraksi dengan beliau.
Sambil bertanya dengan
wajah sumringah, "Wah dapet berapa tadi, Ud?".
Lalu saya bilang, "410,
Pak". "Wah, selamat ya..gede itu..tinggal banyak doa
aja", lanjutnya.
Begitu pula, saat bertemu
dua adik tingkat yang juga menjadi panitia tes, saat sedang menunggu hasil tes
gelombang itu diumumkan. "Wah, gimana nih tips-tipsnya, kak
Arif?", tanya salah satunya. Hee, saya hanya senyum-senyum kecil. Sungguh,
ini nikmat dari Allah, batin saya.
Pun berlanjut ketika
membuat surat keterangan dari kelurahan untuk melengkapi berkas pembuatan SKCK
di Polresta. Saat akan ditandatangani oleh pak Lurah itulah, beliau yang
membaca maksud surat, mengajak ngobrol sebentar.
Dari saya lulus di mana
sampai berapa nilai tesnya. Karena pas kebetulan juga, anak dan keponakannya
ikut tes CPNS ini.
Beliau tampak kaget saat
saya menjawab hasil tes itu, bahkan sempat memastikannya dengan bertanya ulang.
Ah, lagi-lagi saya malu. Bukan.. ini bukan hasil kerja saya, Allah-lah yang mengerti
mengapa memberikan nikmat yang begitu besar ini.
**
Bagian Empat : di balik 410
Setelah mendapatkan nilai
itu, juga Alhamdulillah dengannya dinyatakan lulus tes tertulis, saya mencoba
mencari makna di balik besarnya nikmat ini. Sebuah nikmat dari Allah yang tak
pernah saya duga.
Saya yakin ada hal-hal
tak kasat mata, yang sesungguhnya justru berperan jauh lebih besar dari hal-hal
yang nampak.
Jujur, saat mengerjakan
soal demi soal saat itu, entah mengapa saya merasakan ada kemudahan tersendiri
dari Allah SWT. Semacam ada "invisible hand". Merasa yakin
dengan jawaban-jawaban yang dipilih, juga ingatan-ingatan atas hafalan terasa
begitu lekat.
Karena jika hanya berbicara persiapan teknis, maka bisa dibilang persiapan saya itu sangat minim.
Misal, saya baru
menghafal ulang materi UUD 1945 itu bada zuhur sebelum saya berangkat tes (sebelumnya
pernah mempelajari sekedarnya saja). Tapi Alhamdulillah, ada 4 pasal seingat
saya yang muncul dalam soal. Pasal 35, 36, aturan peralihan ayat 2 dan pasal
terkait Hakim Konstitusi. Dan saya yakin jawabannya benar.
Padahal awalnya saya
sangat khawatir dengan soal TWK, tapi justru soal ini yang nilainya paling
besar ke dua.
Memang secara manusiawi
saya tetap untuk mempersiapkan diri. Mengkopi materi-materi tes, melakukan
simulasi software CAT, belajar ulang menghitung, juga menghafal
perundang-undangan dan materi TWK.
Waktu yang saya milikipun hanya sepulang kerja, yang seringnya juga sudah malam. Biasanya belajar di atas jam 9-an
sampai pukul 12 atau menjelang 1 dini hari. Ini pun tidak intens,
mungkin hanya satu-dua pekan terakhir menjelang ujian.
Maka, saat banyak teman
dan yang lain bertanya, "Kok bisa sih dapet nilai segede itu?".
Maka jawab saya, "Ini
semua tersebab oleh doa."
Doa orang tua dan
keluarga, khususnya doa di Baitullah saat menunaikan ibadah haji. Singkat cerita, dalam rentang
waktu pendaftaran tes, Bapak, Ibu beserta kedua kakak saya Alhamdulillah sedang
berada di Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah haji.
Jadi saking pengennya
Bapak Ibu agar saya ikut tes, beliau masih sempet-sempetnya terus bertanya
apakah saya sudah mendaftar tes CPNS atau belum.
Sampe pernah bilang, Itu
lho sepupumu udah daftar, kamu jangan sampe telat". Hhaa, Ya
mbok Bapak Ibu fokus aja ibadahnya di sana, tenang aja deh. Hee.
Dari tempat berdoa
terbaik itulah, Mbak saya bercerita Bapak Ibu dan beliau sendiri beserta
suaminya terus mendoakan kelulusan tes ini.
Mungkin, mirip dengan
kisah yang dituturkan oleh seorang Ayah sahabat, ketika saya menghadiri acara
pembentukan panitia pernikahannya.
Sang Ayah berujar di awal
sambutannya sebagai tuan rumah, "Pernikahan ini adalah penunaian doa 7 tahun lalu di Baitullah-Mu yang
Agung". cc : mbak Ratih.. hee :)
Saya juga meyakini banyak
doa kebaikan dari lisan yang berbisik dalam sunyi, lirih di kejauhan. Dari
mereka, sahabat dekat, yang jauh, siapapun, yang menginginkan kebaikan-kebaikan
kita.
Maka lakukanlah
kebaikan-kebaikan walau itu terasa kecil. Kita tidak pernah tahu kebaikan mana
yang benar-benar kita ikhlaskan dan akan Allah terima amalnya.
Kita juga tak pernah
tahu, mungkin saja dengan kebaikan kecil itu, orang lain yang merasakannya,
membalasnya dengan doa penuh tulus. Lalu Allah kabulkan. Membalas kebaikan itu
dengan sesuatu yang jauh lebih besar.
Maka sekali lagi saya
meyakini dengan sepenuhnya, bahwa usaha manusiawi kita hanya sebuah cara untuk
membuka jalan yang kelak Allah sempurnakan hasilnya.
Di sepertiga jalan
mengerjakan soal-soal itu (setelah selesai soal TWK), entah mengapa saya sangat
yakin jika jawaban saya hampir semuanya benar.
Melambungkan rasa
sombong, mengalahkan tawadhu jiwa yang ringkih, "kalau soal TWK yang saya
anggap paling sulit saja bisa saya lewati dengan mudah, maka soal-soal
selanjutnya pasti.."
Ah, saya tersadar di
detik berikutnya,
"Jika Allah memudahkan
kita saat bertemu dengan kesulitan, mengapa merasa bahwa itu adalah usaha
tangan kita sendiri?"
"Mengucap istighfar dan
bermohon ampun dalam hati. Tidak, ini semua tak lebih dari kasih sayang Allah
atas hambaNya yang banyak khilaf dan salah. Bukan usaha tangan ini."
**
Penutup : dua air
mata
Hari itu menjelang
petang. Saya sedang berada di Teater 21, bersama teman-teman Hafara.
Menyaksikan pemutaran film Assalamualaikum Beijing. Kisah menggugah
novel Asma Nadia, yang dikemas apik dalam layar lebar.
Mendekati penghujung,
adegan-adegan haru muncul. Nafas menjadi tertahan di setiap kata-kata menyentuh.
Membuat hati berselaput mendung. Lalu merintik, berair, menjelma lapis kaca yang semakin menebal, membuat tatapan mata ini nanar.
Dan tepat di momen
itulah, ada satu pesan masuk ke smartphone blackberry saya.
Saya buka perlahan,
menampilkan sebuah gambar screen shot, juga kata-kata selamat. Saya tak ingat
persis, tapi saya ingat betul saat tiba-tiba air mata saya bercampur; satu
untuk ending film Assalamualaikum Beijing, satunya lagi untuk
kabar itu, pengumuman CPNS 2014.
"Satu untuk kebersamaan
bersama kalian, satu untuk takdir yang membuat jarak ini menjauh."
Nama saya tercantum dalam
urutan pertama formasi yang saya pilih. Pengumuman yang ditunggu lama dengan
perasaan dag dig dug, karena sekian lama tak kunjung berkunjung. Entah
kenapa, justru datang di saat sedang ingin mendekap kebersamaan ini erat-erat.
Dan petang itu, dalam
ruangan yang temaram, satu lembaran takdir terbuka. Takdir yang membawa saya
berjalan di tempat yang berbeda.
Tak jauh dari tempat saya
duduk, sepertinya ada yang menerima pesan yang sama. Dua rekan kerja saya
saling berbicara pelan, sembari menatap layar kaca handphone salah
satunya.
Kaget, dan
bercampur-campur banyak rasa tampaknya mereka. Konsentrasi saya menonton film
ini benar-benar bubar.
Mata ini kian nanar.
Berlinang kenangan yang menggenang dalam.
Lalu kehebohan muncul,
seusai menonton bersama itu, sesampainya di kantor kami, yang letaknya persis
di belakang pusat perbelanjaan tempat teater ini berada. Berdesingan antara
celoteh kisah Assalamualaikum
Beijing dan kabar kelulusan tes
CPNS ini.
Ah, saya tak bisa
berkata-kata lagi. Hanya membisik lirih, "Hadza min fadli Rabbi, Ini adalah
karunia dari Tuhanku."
--selesai
**
Terima kasih untuk :
Kopian materi gratis
dari Wiwin, buku tes CPNS teh Astrid, kumpulan soal digitalnya Titis,
tentor-tentor TPA yang hebat; especially uni Mira-kak Kis-prof. Yuant dengan
sayembaranya,
Mbak Nuy tempat saya
konsultasi EYD, teman-teman di Pusat; Oppa, uda Rahman dan kak Azmy, sahabat
saya yang baik; kak Sat dan mr. Hady, contoh-contoh pemberkasan-nya uncle Mirwan, serta seluruh rekan-rekan Hafara.
Terkhusus untuk Bapak Ibu dan keluarga atas doa-doanya, untuk pak Gunadi yang telah memberikan izin dan support-nya selalu serta ustadz Novian atas nasehat-nasehat dan bimbingannya.
Terkhusus untuk Bapak Ibu dan keluarga atas doa-doanya, untuk pak Gunadi yang telah memberikan izin dan support-nya selalu serta ustadz Novian atas nasehat-nasehat dan bimbingannya.
Search tips n trick ujian cat, nemu tulisan ini. Dan dibaca sambil nunggu verifikasi berkas sebelum masuk ruang ujian. Thanks for sharing, Ka. :)
ReplyDeleteWahh, senangnya ada yang membaca tulisan ino. Terima kasih ya. Desy dari Smanda Balam ya? Sukses buat tes CPNS-nya ya. Amin.
DeleteMaaf pak, kalau berkenan boleh lah berbagi metari gratis dan kumpulan soal digitalnya. Kalau tidak keberatan mhn dikirimkan ke ghu.meeracle@gmail.com . sebelumnya sy ucapkan terimkasih banyak pak
ReplyDeletetidak sengaja menemukan tulisan ini. saya sangat suka :)
ReplyDelete