**
bagian satu : dua sisi
Tak semua kita diberi kesempatan memiliki; apa-apa yang dimiliki orang lain. Paling tidak untuk saat ini.
Banyak orang memilih memandang ke kejauhan; melewati dinding pembatas kesyukuran. Mengingatkan tentang ungkapan,
"Rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau".
Hingga abai dengan apa yang ada dalam genggaman, lupa; bahkan denyut nadi yang berdetak sangat dekat. Sebuah nikmat yang selalu lekat.
Lihatlah,
Anak TK pengen cepat-cepat masuk SD.
Anak SMP buru-buru pengen segera SMA.
Anak SMA iri dengan anak kuliahan yang bisa pake baju bebas.
Padahal anak kuliahan sendiri sering bilang,
"Enakan jaman TK ama SD ya, yang masalah hidup itu cuma sekedar kalo gak dikasih uang jajan".
Di banyak cerita lain,
Saat kuliah berlari-lari mengejar kelulusan,
Sesudah lulus tertunduk lesu mengeluhkan susahnya mencari pekerjaan.
Lalu apa setelah mendapat pekerjaan? Seringkali masih membanding-bandingkan dengan banyak teman yang dilihat punya pekerjaan jauh lebih baik.
"Saat kamu mengeluh betapa lelahnya bekerja mencari uang, di luar sana banyak yang lelah masih mencari pekerjaan."
Di sisi yang lain,
Banyak yang mengeluhkan keruwetan mengurus buah hatinya. Bahkan ada yang tega menelantarkan begitu saja di teras-teras masjid, di depan gerbang panti-panti asuhan.
Padahal, banyak pasangan yang bertahun-tahun berumah tangga belum diberikan keturunan. Menanti dengan peluh cemas, cucuran air mata kerinduan dan doa-doa yang terus bersambung.
Dan ini pengalaman pribadi,
Beribu-ribu orang sangat ingin masuk PNS,
tapi yang sudah jadi PNS ternyata banyak yang mengeluh; gaji kecil, lingkungan kerja pasif dan tak kondusif, juga SK yang tergadai berbelas tahun lamanya.
**
bagian dua : sebuah fragmen
Di pojokan stadion Pahoman, tempat kami biasa menikmati bubur ayam dan segelas jus buah segar. Tampak dua orang yang berprofesi sebagai pemulung. Menatap dari kejauhan. Seperti menunggu waktu, menunggu sesuatu.
Pikiran ini menebak, tapi sengaja mengelak. Memilih mengobrol santai bersama teman lari setiap Sabtu pagi, seperti hari ini.
Menikmati semangkuk bubur ayam, segelas jus buah, dan sebotol air mineral. Mengisi kembali energi, sekaligus memenuhi ulang ruang-ruang cairan tubuh yang kosong sementara. Setelah putaran demi putaran di atas lintasan sintetis stadion yang menyusutkannya perlahan.
Rindang pohon dan udara pagi yang segar, lengkap dengan cahaya matahari pagi yang hangat. Kombinasi cuaca yang pas, menjadikan obrolan kami mengalir bebas. Dari tema pekerjaan, suasana kantor, hingga SK 100% yang belum juga keluar dari persembunyiannya.
Dan sadar atau tidak, dua pasang mata tadi, terus 'mengintai'. 'Semirip kerumuman gagak menanti mangsanya mengembuskan nafas terakhir' --analogi yang lebay.
Sekilas saya memperhatikan lagi tatapan mata itu, tapi lagi-lagi tak ingin menebak lebih jauh. Membiarkan saja tanda tanya itu berlalu.
Dan benar. Sekejap saja kami menuntaskan obrolan, lalu berdiri beranjak pergi, pemilik tatapan itu bergerak cepat. Berkelebat kilat. Senyap, tanpa kata, tanpa suara. Selazimnya orang kebanyakan bilang, "Permisi, Mas!".
Belum genap kami melangkahkan kaki, tangan berbalut keriput itu menyambar dua botol air mineral di atas meja, yang satu diantaranya telah saya remas (mengikuti anjuran sebuah iklan) hingga menyerupa remahan.
Botol tak berbentuk, dan hanya menyisakan remuknya di sana-sini. Seperti perasaanku yang juga tiba-tiba remuk. Duhai Ibu pejuang rezeki, aku menatapmu dengan raga kaku, lidah kelu membisu, dan hati yang beku.
Ada perasaan patah-patah tanpa sebab. Iba yang jatuh satu-satu ke pangkuan. Hampa menyeruak, menghantam semua sendi, menyisakan potret buram tanpa pigura; remah-remah kemiskinan kota yang pilu.
**
bagian tiga : gurat makna
Bagi kita, apalah arti sebotol kosong air mineral tanpa isi, tak punya bentuk. Tak akan ada yang peduli, tergeletak di manapun ia memang tak berarti.
Tapi tak sama dengan mereka. Remahan itu tampak bagai permata, harta karun yang begitu berharga.
Mereka, tak seberuntung kita. Mengais rezeki dari sampah-sampah yang kita buang. Tak mengapa menunggu sejenak atau lama. Asalkan menyisakan sedikit saja dari apa yang memang tak perlu diminta.
Ya, hanya sisa. Lalu mereka bisa memungutnya dengan bahagia. Tersisip senyum karena membayang kumpulan rupiah yang makin bertambah.
Lalu, bagaimana dengan kita?
Pernahkan berpikir bahwa hidup ini seringkali tak adil?
Masihkah bertanya mengapa Tuhan seolah memberikan ujian jauh melampaui kapasitas kita?
Mengeluh dalam gaduh, memecah keyakinan bahwa Tuhan Maha Adil, lalu menjadikannya kepingan yang remuk?
Menyalahkan takdir atas apa yang dulu kita lakukan atau yang tak kita lakukan, juga atas apa yang tidak bisa kita capai atau tak diberi-Nya?
Mengutip Tere Liye pada "Rembulan Tenggelam Di Wajahmu",
"Kita, kadang hidup seperti anak-anak yang memperebutkan mainan. Bukan, bukan karena kita tak sedang memegang mainan. Tapi, karena kita ingin memiliki apa yang ada dalam genggaman orang lain".
Maka berlakulah nasehat bijak,
"Hidup yang kamu keluhkan itu, seringkali adalah hidup yang orang lain rindukan".
Atau semisal yang sama,
"Apa yang kamu sia-siakan, seringkali adalah apa yang orang lain sangat ingin miliki".
Maka;
Bersyukurlah,
dan rasakan betapa besarnya anugerah kehidupan yang kita miliki :)
Comments
Post a Comment